Senin, 10 September 2007

storie

Kisah Klasik Masa Depan, Cerita dirinya akan diriku

Seharusnya, minggu berharga adalah jeda waktu kita berbicara. Mengungkapkan tumpukan rasa yang tak sempat terungkap dalam selipan rutinitas harian. Tapi tidak untuk hari ini. Sebuah tas carril biru besar sudah penuh terisi. Selipan beberapa trash bag tampak tersembul di antara tumpukan kaos Pandu Keadilan yang tersusun rapi, dua buah pisau combat, beserta celana gunung .

Sebelum pergi, mari kita bicara sejenak tentang warna-warni, seperti minggu sebelumnya. Walau mungkin tak mampu mengungkap semuanya karena kejaran waktu.

"Surat wasiat ada di kotak putih, buka jika ada hal darurat," suara beratmu menghujam.

Dan aku hanya terdiam di pojokan, mengangguk dengan jawaban pelan. Menatap punggung belakangmu yang mulai menutup carril biru mu. Mengamati beberapa helaian putih yang mulai banyak tumbuh pada rambut dan keriput tua yang menghiasi wajah kerasmu. Sepuluh tahun meniti, kebahagiaan apa yang telah aku berikan untukmu? Dentuman hati bertanya dalam gagu.

"Cuma dua hari, paling lama tiga hari," Tiba-tiba mata itu menatap dihiasai senyum.

Sebuah mata teduh yang kelihatan menua. Sedang aku tak berani menatap lama mata itu. Terlalu banyak keluh kesah yang sering aku tanggalkan di sana. Terlalu banyak kepenatan yang sering aku curahkan di sana. Mata hitam yang tak jernih namun selalu mampu menenangkan samudera gelisahku. Untuk berlabuh dalam kesetiaan.

Tiga hari hanya sebentar. Tak seharusnya si cengeng menggelayuti rasa. Membayangkan ruangan sempit yang akan menjadi lapang dan kosong tanpa kehadirannya, sepi, sendiri. Ah, kenapa selalu ada sendu saat ia akan pergi.

Beningku ingin berbisik di telinganya, "Semoga Allah SWT melindungi di mana saja berada. Kehadiranmu semakin bermakna saat tak ada."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar